Dimanakah Kebenaran Itu?
Posted by
Unknown
at
9:50 PM
Yadi adalah mahasiswa di salah satu kampus terkenal di Jogja. Siang itu, Yadi dan teman-teman sekelasnya duduk sambil menikmati
suasana mesjid yang damai. Sebagaimana biasanya, masing-masing dari mereka sibuk dengan “hobi”-nya. Ada yang mengobrol sambil sesekali melempar candaan. Ada yang membaca buku. Ada yang sibuk bermain HP. Bermacam-macam. Namun berbeda dengan teman-temannya, Yadi hanya terdiam. Dahinya mengernyit, nampak bahwa dia sedang menyelami alam pikirannya. Tatapan matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang tinggi.
“Benarkah kebenaran yang saya yakini ini? Agama saya, semuanya”, pikir Yadi.
“Adakah kebenaran yang saya yakini ini adalah murni hasil dari pencarian, pembelajaran, dan pemahaman ataukah kebenaran yang ‘dipaksakan’
oleh orang-orang selain diri saya? Mungkin oleh orang tua saya, saudara saya,
teman-teman saya, atau bahkan oleh orang-orang yang sengaja ingin membodohi
saya”, tambahnya.
“Tidak, saya harus berubah. Mulai detik ini setiap segala sesuatu yang saya yakini sebagai kebenaran haruslah bersumber dari penelaahan, pembelajaran, dan pemahaman. Bukan berasal dari ‘katanya’ . Tidak ada lagi pembatasan atas diri saya untuk mempelajari apapun. Karena saya harus memiliki argumen atas setiap keyakinan saya. Dan sepahit apapun kebenaran itu, saya akan terima dengan kebanggaan”,tekadnya.
Dari cerita di atas, tanpa ragu saya katakan, “Beruntunglah seorang Yadi itu.” Dia berani melakukan apa yang kebanyakan manusia tidak mampu untuk melakukannya. Yadi berani merobohkan penjara kebodohan dalam dirinya. Yadi berani melanggar ‘tradisi’ nenek moyangnya, yakni ‘mangut-mangut ‘ alias ‘nerimo sajo’. Yadi berani berpikir terbuka. Yadi yang sekarang adalah Yadi yang siap untuk menerima kebenaran hakiki bukan kebenaran bias yang selama ini dia yakini. Pengetahuan dan ketundukan pada kebenaran hakiki itulah hadiah yang paling pantas didapatkan oleh orang-orang seperti Yadi.
Namun, terbersit dalam pikiran saya untuk bertanya kepada siapapun yang membaca tulisan ini dan khusunya kepada diri saya sendiri. ADAKAH TEKAD ITU ADA PADA DIRI KITA? Saya yakin
kebanyakan dari kita akan menjawab “TIDAK.”
Kenapa jawabannya ‘TIDAK’?.
Karena kebanyakan manusia terlalu ‘takut’ untuk mengetahui kebenaran. Kebanyakan manusia terlalu ‘takut’ untuk tunduk pada kebenaran. Pepatah lama mengatakan ‘Kebenaran itu pahit’. Mungkin pepatah tersebut ada benarnya. Karena setiap kita mengetahui kebenaran, maka kita diwajibkan untuk tunduk kepadanya.
Tunduk kepada kebenaran bukan berarti bahwa hidup kita akan semakin mudah.
Justru sebaliknya, tunduknya kita pada kebenaran akan dibarengi dengan
konsekuensi-konsekuensi yang harus dihadapi. Konsekuensi itulah yang akan
membawa pada kesulitan. Dan pada akhirnya tidak ada pilihan lain kecuali
pengingkaran akan kebenaran.
Tahukah anda kisah pemuka Nasrani Najran yang berdialog
dengan Nabi saww? Kisah mereka menjadi Asbabun Nuzul turunnya ayat Mubahalah
(QS.Ali Imran 3:61). Diriwayatkan bahwa pemuka Nasrani Najran ini tetap enggan untuk
mengakui kenabian Muhammad saww, meskipun kebenaran telah nampak jelas di
hadapan mereka. Tahukah anda kenapa mereka tetap bersikukuh pada kesesatan? KONSEKUENSI!
Itulah yang menyebabkan mereka bersikap seperti itu. Seandainya mereka mengakui kenabian Muhammad
saww dan tunduk pada kebenaran maka mereka akan kehilangan kedudukan mereka
yang tinggi diantara penduduk Najran. Lebih jauh lagi, bukan tidak mungkin
mereka akan dibunuh. Hingga akhirnya, seperti yang telah saya sebutkan, tidak
ada jalan lain bagi mereka kecuali PENGINGKARAN.
Dengan demikian, jelaslah bahwa salah satu penyebab keengganan manusia untuk tunduk pada kebenaran adalah konsekuensi yang harus mereka terima.
Namun, sebenarnya ada faktor lain yang bisa menyebabkan hal itu. Dan faktor ini sebenarnya jauh lebih berbahaya. Jika faktor sebelumnya berkaitan dengan sisi eksternal manusia. Maka faktor selanjutnya terkait dengan sisi internal manusia. EGO ! inilah faktor yang dalam istilah islam sering disebut dengan hawa nafsu. Hawa nafsu ini menyeret manusia pada sifat-sifat buruk. Kesombongan dan kedegilan adalah sebagian kecil dari produk ego atau hawa nafsu.
Anda tentu tahu
kisah Fir’aun dan Musa as. Kitab-kitab samawi seperti Al-Qur’an dan Injil menceritakan
peristiwa ini. Dikisahkan, meskipun kebenaran dan mukzizat-mukzizat Musa as
dengan jelas nampak di hadapannya (fir’aun) tapi seorang Fir’aun tetap berdegil
dan merasa sombong. Dia tetap bersikukuh pada pendiriannya. Dia tetap enggan
untuk tunduk pada kebenaran yang Musa as bawa. Ego atau hawa nafsu inilah yang
menyebabkan Fir’aun bersikap demikian.
Selain kedua
faktor yang telah disebutkan diatas, ada satu faktor lagi yang hendak saya
jelaskan. Faktor inilah pangkal dari semua keburukan, kesesatan, dan kebinasaan.
Imam Ali bin Abi Thalib kw menyebut faktor yang satu ini sebagai bencana/musibah.
Imam Ali as berkata, "Musibah terbesar adalah
kebodohan." (Kanz al-Ummal, jilid 13, hal 151, hadis 36472)
Kebodohan akan menunggangi
manusia. Karenanya, manusia akan diarahkan pada keburukan, kesesatan, dan
kebinasaan. Berapa banyak manusia yang diperdaya kebodohan. Adakah mereka sadar
telah diperdaya oleh kebodohan? Sekali-kali tidak. Mereka merasa sudah bersikap
cerdas dan bijak. Mereka merasa sudah berjalan diatas jalur yang benar.
Kita sebagai
manusia seringkali merasa paling benar. Kita sering menganggap setiap yang bertentangan dengan
kita adalah salah. Sebagai contoh, orang nasrani menganggap agama merekalah
yang benar, dan selain mereka adalah salah. Sementara itu, orang islam juga
mengklaim hal yang sama. Adakah secara
hakikatnya baik nasrani maupun islam kedua-duanya adalah benar? Ataukah salah
satunya benar dan yang satunya salah?
Jika kita katakan
bahwa keduanya benar maka kita terjebak dalam sesuatu yang disebut dengan
relativitas kebenaran/kebenaran relatif. Dalam pandangan ini, semua adalah
benar. Kebenaran itu tidak memiliki hakikat karena sesuatu dikatakan benar
tergantung dari sudut pandang subjeknya. Seperti contoh diatas, karena baik
orang nasrani maupun islam menganggap bahwa mereka itu benar maka baik agama nasrani
maupun agama islam adalah benar.
Tapi apakah
kebenaran diukur dengan cara seperti itu? Yakni, apa yang kita yakini benar
secara hakikatnya juga pasti benar. Ataukah kebenaran itu mutlak, yakni tidak
tergantung dari subjek yang memandangnya.
Kebenaran itu
mutlak. Berapa banyakpun kelompok manusia yang berselisih paham dan merasa
paling benar, kebenaran itu tetap satu. Kelompok
A boleh saja mengklaim paling benar. Begitupun kelompok B. Dan mungkin juga
kelompok C. Namun yakinlah bahwa kebenaran itu hanya satu.
Hakikat kebenaran
hanya dapat dikenali oleh manusia-manusia yang melepaskan diri dari kebodohan. Mereka
yang mau terus belajar dan menelaahlah yang akan sanggup mengetahui letak
kebenaran. Dalam pandangan mereka, ilmulah satu-satunya jalan yang sanggup
membawa mereka pada kebenaran hakiki.
Imam Ali as berkata, “Apabila kalian dapati dua hal yang saling betentangan maka benturkan keduanya niscaya kebenaran akan muncul.”
Disini Imam Ali
as menjelaskan tentang cara mengenali kebenaran. Untuk mengenali kebenaran ada
syarat-syarat yang harus dipenuhi. Pertama, kita harus berani berpikir terbuka.
Karena hanya manusia yang berani
berpikir terbukalah yang sanggup mengenali kebenaran. Dengan berpikir terbuka kita
tidak akan membatasi diri dari mencari dan mempelajari ilmu. Kita akan terus
belajar dan terus mencari ilmu tidak hanya dari sumber-sumber kelompok kita
saja tapi juga dari sumber-sumber kelompok yang berseberangan.
Kedua, kita harus
menguji argumen dari masing-masing kelompok. Dalam hal ini, kita harus bersikap
objektif. Kita tidak boleh terjebak dalam tendensi pribadi. Kita harus bersikap
sebagai pencari kebenaran sejati. Karena seandainya kita tidak bersikap
demikian, maka kebenaran yang akan muncul bukanlah kebenaran hakiki melainkan ‘kebenaran
yang dipaksakan’ atau saya menyebutnya
dengan istilah ‘kebenaran bias'.
Kebenaran yang
kebanyakan dari kita yakini bukanlah kebenaran hakiki yang bersumber dari hasil pencarian,
penelaahan, dan pembelajaran yang benar melainkan kebenaran yang dipaksakan. Kebenaran
yang kita simpulkan kebanyakannya hanyalah hasil dari ‘nerimo sajo’. Kita terlalu
percaya dengan ‘katanya’.
“eh, katanya
ahmadiyah itu sesat”, “eh, katanya syi’ah itu sesat”, “eh,
katanya....katanya....katanya.”
Kebanyakan dari kita ketika mendengar ‘katanya’
ini langsung saja percaya dan menganggapnya kebenaran. Saya tidak menyalahkan
anda jika anda berkesimpulan bahwa ahmadiyah itu sesat atau syiah itu sesat,
dsb. Saya hanya ingin mengatakan bahwa setiap kesimpulan yang kita tarik
haruslah memiliki argumen/premis yang bisa diterima. Dan argumen tersebut
tentunya adalah hasil dari penelaahan, dan pengkajian kita sendiri. Bukan dari
argumen yang dipaksakan oleh orang-orang disekitar anda. Sekalipun orang itu
dapat dipercaya, karena bisa jadi mereka keliru.
Imam Ali as suatu
waktu pernah ditanya oleh salah seorang sahabatnya, “wahai Amirul Mukminin,
berapa jauhkah jarak antara kebenaran dan kebatilan itu?” Mendengar pertanyaan
ini Imam Ali as meletakan jarinya diantara mata dan telinga. Kemudian beliau
mengatakan, “Apa yang kamu dengar kebanyakannya adalah batil, sementara apa
yang kamu lihat adalah sebaliknya.”(Ghurarul Hikam)
Dari riwayat ini,
dapat saya jelaskan bahwa hendaknya kita tidak langsung membenarkan setiap
kabar yang kita terima. Kita harus mengujinya terlebih dahulu. Wajib bagi kita
untuk membuktikannya dengan argumen yang benar. Saya akan mengajukan sebuah
contoh.
Setelah serangan
9 /11 orang barat menganggap bahwa ‘Islam itu agama teroris’. Apakah anggapan/kesimpulan
mereka itu benar? Tentunya kita yang muslim akan menyatakan bahwa mereka itu keliru
karena kesimpulan/anggapan mereka bertentangan dengan realitas yang kita ketahui.
Tapi bagi mereka, anggapan bahwa ‘Islam itu agama teroris’ merupakan sebuah
kebenaran.
Lalu dimana letak kesalahan mereka?
Mereka langsung percaya ‘katanya’ tanpa pernah menelaah dan membuktikannya secara langsung. Mereka langsung percaya dengan kabar yang dihembuskan media setempat bahwa islam itu agama yang menghalalkan kekerasan. Islam yang mereka kenal berasal dari sumber yang salah. Karena sumbernya salah maka tentulah informasi yang didapat juga salah. Seandainya mereka memang ingin mengetahui tentang islam, tentunya mereka harus mempelajari langsung dari sumbernya. Bukan dari Islam Amerika.
Begitu juga
realitas yang terjadi di tanah air kita. Bebarapa waktu lalu lalu kita
dikejutkan oleh berita tentang penyerangan yang dilakukan oleh segerombolan orang
terhadap kelompok Syi’ah. Mereka beralasan bahwa mereka menyerang kelompok ‘sesat’. Seandainya saya tanya satu persatu dari
mereka dengan pertanyaan sederhana seperti, “apa itu syiah?” Saya yakin jawaban mereka ngaco. Dan pastinya mereka akan mengatakan ‘kata guru saya sih bla bla bla’. Dan pastinya pengetahuan si gurunya ini juga dari gurunya lagi, tanpa pernah mengeceknya.
Mari kita sedikit berandai-andai!
Seandainya kita ingin membeli baju, manakah yang kita datangi, penjual baju atau penjual kambing? Tentu penjual baju bukan. Dari pengandaian ini dapat kita katakan bahwa sebelum membuat suatu kesimpulan sudah semestinya kita telusuri dulu apakah sumber informasi itu representatif atau tidak. Sehingga, kita bisa mendapat kepastian tentang tingkat kevalidan informasi yang kita dapatkan. Dan tentunya, semakin valid informasi yang kita dapat, semakin kesimpulan kita itu benar.
Tapi, ya inilah
realitasnya. Kebanyakan manusia terlalu enggan untuk membaca, menelaah, dan
belajar. Padahal, bukankah perintah
pertama Allah swt kepada Nabi saww adalah ‘Iqra’ (bacalah)? Lalu kenapa kita
enggan untuk belajar dan justru malah berargumen dengan "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati
dari (perbuatan) nenek moyang
kami." (QS. Albaqarah 2:170).
Mudah-mudahan kita tidak termasuk kelompok
yang Allah swt hinakan dengan kebodohan. Dan mudah-mudahan Allah swt memasukan
kita pada kelompok orang-orang berilmu yang selalu siap tunduk pada kebenaran.
Amin
Salam sejahtera bagi orang-orang yang
mendapat petunjuk.
0 comments: