Kisah Malik al-Asytar ra
Posted by
Unknown
at
3:06 AM
Ar-Rabadzah adalah nama sebuah gurun di
antara Makkah dan Madinah. Daerah adalah daerah yang tandus. Tak ada yang
mendiami tempat tersebut. Tetapi pada tahun 30 H, ada sebuah kemah di sana. Di
dalam kemah itu terdapat seorang lelaki tua, perempuan tua, dan putri mereka.
Lalu mengapa lelaki tua itu mendiami tempat terpencil di tengah gurun tersebut?
Ia tinggal di sana bukan karena keinginannya, melainkan seorang khalifah (Utsman bin Affan ) telah membuangnya ke sana.
Lelaki tua itu menderita sakit dan istrinya selalu menangis. Ia pun bertanya pada istrinya," Wahai Ummu Dzar, mengapa kau menangis?" Perempuan tua itu menjawab," Bagaimana aku tidak menangis, sementara engkau menjelang ajal di tengah gurun ini?"
Lelaki tua itu lalu berkata," Suatu hari, teman-temanku dan aku duduk bersama Rasulullah saw. Kemudian beliau saw. berkata pada kami,'Salah satu dari kalian akan mati di gurun. Dan sekelompok Mukmin akan menghadiri kematiannya.' Lalu teman-temanku pulang ke rumah mereka masing-masing. Tak seorang pun yang mengingatnya kecuali aku. Seseorang akan datang dan menolongmu."
Perempuan tua itu kemudian berkata," Musim Haji telah usai. Tak ada seorang pun yang akan lewat di gurun ini."
Lelaki tua itu menjawab," Jangan khawatir! Naiklah ke bukit dan lihatlah jalan yang biasa di lewati kafilah-kafilah."
Kemudian perempuan tua itu pun pergi ke atas bukit dan meihat.
Setelah lama ia menunggu, di kejauhan perempuan tua itu melihat kafilah datang menujum ke arahnya.
Perempuan tua itu melambaikan sehelai kain. Para penunggang kuda itu heran dan saling bertanya di antara mereka tentang perempuan tua itu yang sendirian berada di tengah gurun.
Mereka lalu mendekatinya dan bertanya tentang keadaannya. Dan ia pun berkata," Suamiku aku meninggal. Dan tak ada seorang pun yang ada di sampingnya."
Mereka bertanya,"Siapa suamimu?"
Sambil menangis, perempan tua itu menjawab,"Abu Dzar, sahabat Rasulullah!"
Mereka pun terkejut. Lalu mereka berkata," Abu Dzar! Sahabat Rasulullah! Mari kita lihat dia!"
Rombongan itu masuk ke kemah. Ketika mereka masuk, mereka melihat Abu Dzar sedang tidur di atas tempat tidurnya. Mereka lalu berkata,"Assalamu 'alaika, wahai sahabat Rasulullah!"
Abu Dzar menjawab," Wa'alaikum salaam, siapa anda sekalian?"
Salah seorang dari mereka menjawab," Malik al Harts al Asythar. Dan beberapa orang bersamaku dari Irak. Kami akan pergi ke Madinah untuk berbicara pada khalifah tentang penganiayaan yang kami alami."
Abu Dzar lalu berkata,"Wahai saudaraku! Bergembiralah! Rasulullah telah mengatakan padaku bahwa aku akan mati di gurun dan ada beberapa orang Mukmin akan menghadiri kematianku."
Malik dan kawan-kawannya duduk di dalm kemah Abu Dzar. Malik al Asythar merasa kasihan meliaht keadaan Abu Dzar. Dan ia merasa sedih mendengar bani Umayya telah menganiaya sahabat besar itu.
Lalu mengapa lelaki tua itu mendiami tempat terpencil di tengah gurun tersebut?
Ia tinggal di sana bukan karena keinginannya, melainkan seorang khalifah (Utsman bin Affan ) telah membuangnya ke sana.
Lelaki tua itu menderita sakit dan istrinya selalu menangis. Ia pun bertanya pada istrinya," Wahai Ummu Dzar, mengapa kau menangis?" Perempuan tua itu menjawab," Bagaimana aku tidak menangis, sementara engkau menjelang ajal di tengah gurun ini?"
Lelaki tua itu lalu berkata," Suatu hari, teman-temanku dan aku duduk bersama Rasulullah saw. Kemudian beliau saw. berkata pada kami,'Salah satu dari kalian akan mati di gurun. Dan sekelompok Mukmin akan menghadiri kematiannya.' Lalu teman-temanku pulang ke rumah mereka masing-masing. Tak seorang pun yang mengingatnya kecuali aku. Seseorang akan datang dan menolongmu."
Perempuan tua itu kemudian berkata," Musim Haji telah usai. Tak ada seorang pun yang akan lewat di gurun ini."
Lelaki tua itu menjawab," Jangan khawatir! Naiklah ke bukit dan lihatlah jalan yang biasa di lewati kafilah-kafilah."
Kemudian perempuan tua itu pun pergi ke atas bukit dan meihat.
Setelah lama ia menunggu, di kejauhan perempuan tua itu melihat kafilah datang menujum ke arahnya.
Perempuan tua itu melambaikan sehelai kain. Para penunggang kuda itu heran dan saling bertanya di antara mereka tentang perempuan tua itu yang sendirian berada di tengah gurun.
Mereka lalu mendekatinya dan bertanya tentang keadaannya. Dan ia pun berkata," Suamiku aku meninggal. Dan tak ada seorang pun yang ada di sampingnya."
Mereka bertanya,"Siapa suamimu?"
Sambil menangis, perempan tua itu menjawab,"Abu Dzar, sahabat Rasulullah!"
Mereka pun terkejut. Lalu mereka berkata," Abu Dzar! Sahabat Rasulullah! Mari kita lihat dia!"
Rombongan itu masuk ke kemah. Ketika mereka masuk, mereka melihat Abu Dzar sedang tidur di atas tempat tidurnya. Mereka lalu berkata,"Assalamu 'alaika, wahai sahabat Rasulullah!"
Abu Dzar menjawab," Wa'alaikum salaam, siapa anda sekalian?"
Salah seorang dari mereka menjawab," Malik al Harts al Asythar. Dan beberapa orang bersamaku dari Irak. Kami akan pergi ke Madinah untuk berbicara pada khalifah tentang penganiayaan yang kami alami."
Abu Dzar lalu berkata,"Wahai saudaraku! Bergembiralah! Rasulullah telah mengatakan padaku bahwa aku akan mati di gurun dan ada beberapa orang Mukmin akan menghadiri kematianku."
Malik dan kawan-kawannya duduk di dalm kemah Abu Dzar. Malik al Asythar merasa kasihan meliaht keadaan Abu Dzar. Dan ia merasa sedih mendengar bani Umayya telah menganiaya sahabat besar itu.
Al Asythar
Malik bin al Harts al Nakhai adalah salah seorang dari suku tua Yaman. Ia telah memeluk Islam sejak masa Nabi saw. dan ia pun sangat setia dengan keislamannya itu.
Ia mengambil bagian dan bertempur dengan gagah berani dalam pertempuran Yarmuk. Ia dengan berani menghadang serangan pasukan Romawi atas pasukan kaum Muslim. Sehingga kelopak matanya robekkarena terbelah pedang musuh. Oleh karena itulah ia dijuluki Al Asytar (yang tergores wajahnya karena pukulan).
Pada tahun 30 H, kaum Muslim Kufah dan kaum Muslim yang ada di kota-kota lain menjadi marah atas perlakuan penguasa-penguasa mereka. Sebagai contoh, Al Walid bin Akabah (saudara Khalifah Utsman), Gubernur Kufah, yang kelakuannya sangat bertentangan dengan Islam. Ia adalah peminum khamar (minuman keras) dan menghabiskan waktunya dengan berfoya-foya.
Suatu hari, ia pernah memasuki masjid dalam keadaan mabuk. Ia melakukan salat empat rakaat pada waktu subuh. Kemudian ia berbalik menghadap orang-orang yang sedang beribadah dan berkata dengan sinis," Apakah salah jika aku menambah salatku?"
Rakyat merasa tidak senang dengan kelakuannya. Mereka mengkritik di pasar-pasar, di rumah-rumah, dan di Masjid-masjid.
Orang-orang bertanya-tanya," Apakah khalifah tidak menemukan penguasa yang baik untuk menggantikan yang buruk ini ?"
"Ia meminum khamar dengan terang-terangan."
"Ia melanggar ajaran agama dan hak-hak kaum Muslim."
Akhirnya, rakyat memutuskan untuk meminta nasihat pada orang-orang bijak. Lalu mereka pun mendatangi Malik al Asytar.
Malik berkata pada mereka,"Kita sebaiknya menasehatinya terlebih dahulu. Bila tidak bisa dinasehati, kita laporkan pada khalifah kelakuan buruknya."
Malik dan beberapa orang pergi ke istana untuk menghadap al Walid. Ketika mereka sampai di istana, mereka melihat al Walid sedang minum khamar seperti biasanya. Mereka menasihatinya untuk berbuat baik. Tetapi ia justru membentak dan mengusir mereka.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke Madinah untuk menemui khalifah Utsman dan mengatakan padanya tentang masalah ini.
Para utusan itu bertemu dengan khalifah dan melaporkan kelakuan buruk al Walid. Namun sayang, Khalifah justru membentak dan mengusir mereka. Bahkan ia pun menolak untuk mendengarkan keluhan mereka. Sehingga mereka menjadi kecewa.
Mereka lalu berpikir untuk menemui Imam Ali bin Abi Thalib, sepupu Nabi Muhammad Saw, karena beliaulah satu-satunya harapan untuk memperbaiki keadaan.
Utusan
Sementara itu, seluruh kaum Muslim mengeluhkan kelakuan buruk para penguasa kotanya.
Para sahabat pergi ke rumah Imam Ali. Mereka mengatakan pada beliau tentang penganiayaan dan korupsi yang dilakukan para penguasa tersebut.
Imam Ali sedih mendengar berita itu. Sehingga beliau pergi ke istana Khalifah. Beliau menemui Utsman dan menasehatinya," Wahai Utsman, kaum Muslim mengeluh tentang penganiayaan yang dilakukan para penguasa. Dan engkau mengetahuinya dengan baik. Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda,"Di hari kiamat nanti, penguasa yang zalim akan diseret ke neraka. Dan tak seorang pun yang mendukung atau membebaskannya. Kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka. Ia akan jatuh berputar-putar hingga ia mencapai kerak neraka."
Utsman berpikir sejenak. Ia menundukkan kepalanya dengan sedih. Ia mengakui kesalahannya. Dan ia berjanji bahwa ia akan bertobat kepada Allah dan memohon maaf pada kaum Muslim.
Imam Ali pergi dan memberi tahukan kabar baik itu pada kaum Muslim. Mereka semua bergembira.
Tetapi Marwan, seorang munafik, berkata pada Khalifah," Engkau sebaiknya mengancam rakyat sehingga tak seorang pun yang berani melawan Khalifah."
Revolusi
Utsman melanggar janjinya. Ia tidak berkelakuan baik dan tidak mengganti gubernurnya. Pada saat yang sama, ia menggunakan kebijakan keras untuk melawan rakyat. Muawiyah, Gubernur Syam, menyarankan Khalifah agar mengusir para sahabat Nabi Saw.
Khalifah pun membuang Abu Dzar, seorang sahabat besar, ke Rabadzah, di mana ia meninggal di sana. Ia menganiaya Ammar bin Yasir, yang juga seorang sahabat besar.
Khalifah juga mencambuk Abdullah bin Mas'ud. Karenanya, rakyat mengeluhkan keputusan Utsman dan para gubernurnya itu.
Para sahabat Nabi Muhammad saw. mengirim banyak surat ke kaum Muslim yang ada di seluruh kota. Surat-surat itu berbunyi sebagai berikut:" Kaum Muslim, mari bergabung dengan kami. Selamatkan kekhalifahan. Kitabullah (Alquran) dan sunnah Nabi telah diselewengkan. Maka, bergabunglah dengan kami jika kalian beriman kepada Allah dan hari pembalasan."
Kaum Muslim berduyun-duyun datang ke Madinah dari berbagai penjuru. Malik al Asytar mewakili para pemberontak. Ia mengadakan pertemuan dengan Utsman untuk membahas permasalahan pemerintahan kaum Muslim.
Para pemberontak meminta Utsman untuk menanggalkan kekuasaannya. Tetapi Utsman menolak hal tersebut. Imam Ali mencoba untuk memperbaiki keadaan. Namun, semua usaha beliau sia-sia.
Kaum Muslim tidak senang dengan penganiayaan yang dilakukan Utsman dan para gubernurnya yang zalim itu. Sementara Utsman tetap keras kepala memaksakan keputusannya.
Para pemberontak mengepung istana Utsman. Sehingga Imam Ali meminta kedua putranya, Al Hasan dan Al Husain as, untuk menjaga Utsman.
Para pemberontak memanjat dinding-dinding istana. Mereka menorobos masuk ke dalam ruangan khalifah dan membunuhnya. Sementara itu, Marwan dan kaum munafik lainnya melarikan diri.
Thalhah dan Zubair berambisi untuk menjadi Khalifah . Sehingga mereka pun membantu pemberontakan. Tetapi rakyat berpikir hanya satu orang yang layak menjadi khalifah. Dan orang itu adalah Imam Ali.
Rakyat berbondong-bondong mendatangi rumah Imam Ali. Mereka meminta beliau menjadi Khalifah. Tetapi Imam Ali menolaknya.
Malik al Asytar dan sahabat-sahabat yang lain tetap mendesak agar Imam Ali menjadi Khalifah. Malik menyeru rakyat dengan bersemangat,"Wahai umat, ini adalah Khalifah Rasulullah. Ia telah belajar ilmu-ilmu Rasulullah. Alquran telah menyebut keimanannya. Rasulullah berkata padanya bahwa ia masuk ke surga Al Ridwan. Kepribadiannya sempurna. Orang-orang dari masa lampau maupun sekarang mengakui tindakan dan pengetahuannya."
Oleh karena itu, Malik al Asythar adalah orang yang pertama membai'at (menyatakan sumpah setianya kepada) Imam Ali untuk menjadi Khalifah. Kemudian kaum Muslim mengikutinya.
Ketika Imam Ali menjadi Khalifah, babak baru dimulai. Beliau memecat semua penguasa zalim. Sebagai gantinya, beliau menunjuk orang-orang yang saleh.
Perang Jamal
Beberapa orang berambisi menjadi khalifah. Thalhah dan Zubair adalah dua orang diantaranya. Mereka pergi ke Makkah untuk mendesak Aisyah, putri Abu Bakar, untuk mengadakan pemberontakan guna melawan Imam Ali.
Marwan mengambil keuntungan dari keadaan itu. Ia mulai menggunakan uang kaum Muslim yang ia curi, untuk membentuk pasukan besar. Ia mengumumkan bahwa ia akan membalas dendam pada para pembunuh Utsman.
Pasukan itu menuju Basrah. Mereka tumbangkan gubernur di daerah itu dan mengusirnya. Mereka pun merampok baitulmal (perbendaharaan harta kaum Muslim).
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontak dengan gigih. Beliau menuju Basrah untuk meminta rakyat di sana berjuang melawan pemberontak itu.
Beliau juga mengutus Al Hasan dan Ammar bin Yasir ke Kufah, meminta rakyat di sana untuk bergabung melawan pemberontak. Namun gubernur Kufah, Abu Musa al Asy'ari, justru mencegah rakyat untuk berjuang dan juga memerintahkan rakyat untuk tidak mematuhi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.
Hari-hari berlalu, tetapi Al Hasan dan Ammar bin Yasir belum kembali. Sehingga, Imam Ali kemudian mengirim Malik Asythar untuk menyusul mereka berdua.
Malik Asythar adalah seorang pemberani dan bersemangat tinggi. Ia menyadari bahwa orang-orang Kufah akan selalu mendukung Imam Ali melawan musuh-musuh beliau. Dan ia mengerti bahwa Abu Musa lah yang menghalangi mereka.
Malik Asythar tiba di Kufah dan mulai mengundang rakyat untuk mengikutinya. Sejumlah orang menaatinya. Sehingga ia mulai menyerang istana Gubernur dan membubarkan para pengawal yang ada di sana.
Saat itu, Gubernur Abu Musa al Asy'ari meminta Malik Asythar untuk memberikan waktu beberapa hari baginya untuk meninggalkan Kufah. Malik menyetujuinya. Pada hari yang sama, Malik al Asythar bergegas menuju masjid untuk mendorong rakyat agar mendukung Imam Ali.
Sehingga akhirnya Malik dapat membentuk pasukan besar. Pasukan itu berjumlah lebih dari 18 ribu orang. Al Hasan memimpin sembilan ribu orang. Mereka bergerak lewat darat. Dan sebagian yang lain bergerak lewat sungai. Tujuannya adalah untuk bergabung dengan pasukan Imam Ali di Dziqar, bagian selatan Irak.
Imam Ali memimpin pasukan bergerak menuju Basrah, dimana beliau berhadapan dengan pasukan Aisyah. Pemimpin pasukan Aisyah adalah Thalhah, Zubair, dan Marwan bin Hakam.
Malik al Asythar memimpin di sayap kanan. Ammar bin Yasir memimpin di sayap kiri. Imam Ali memimpin di tengah pasukan. Dan Muhammad ibnu al Hanafiah, anak Imam Ali, membawa bendera.
Pasuka Aisyah mulai menyerang pasukan Imam Ali. Mereka menghujani pasukan Imam Ali dengan panah. Sehingga beberapa pasukan terbunuh dan sebagian lainnya terluka-luka.
Pasukan Imam Ali ingin mundur satu per satu. Tetapi Imam Ali menghentikan mereka dan berkata," Siapa yang mau mengambil Alquran ini dan pergi ke mereka untuk menyerukan mereka agar kembali kepadanya?
Seorang pemuda berkata,"Amirul Mukminin, aku akan membawanya."
Lalu ia memimpin pasukan penunggang unta dengan mengangkat Alquran. Dan Aisyah pun berteriak, "Panah dia!"
Segera pasukan panah menyerangnya. Ia pun jatuh ke tanah dan menjadi syahid.
Saat itu, Amirul Mukminin mengangkat tangannya ke langit. Beliau berdoa pada Allah SWT agar memberikan kemenangan. Kemudian beliau pun berkata," Ya Allah, mata ini memandang-Mu! Dan tangan-tangan ini mengulur (pada-Mu)! Tuhanku, hakimilah umat kami dan kami dengan keadilan! Dan Engkau adalah sebaik-baiknya hakim!"
Kemudian Imam memerintahkan pasukannya untuk melancarkan serangan. Malik al Asythar pun maju. Ia bertempur dengan gagah berani. Pertempuran sengit terjadi di sekitar riuhnya unta.
Imam menyadari bahwa dengan membunuh unta ia dapat mengakhiri pertumpahan darah, itu akan mengakhiri pertempuran antara dua pasukan tersebut.
Sehingga atas perintah Imam, Malik al Asythar segera melancarkan serangan kearah unta. Ia bertempur dengan gagah berani dan jujur. Ia tidak membunuh mereka yang terluka. Ia tidak memburu mereka yang melarikan diri.
Malik al Asythar meneladani Imam Ali. Ia mencintai Khalifah Rasulullah saw. itu. Imam juga mencintai Malik, karena ia orang yang takut pada Allah. Dan Allah mencintai siapa pun yang takut pada-Nya.
Kemenangan
Setelah pertempuran sengit, pasukan Imam membunuh unta-unta. Sehingga pasukan musuh menjadi lemah semangatnya dan mulai melarikan diri dari medan tempur.
Imam memerintahkan pasukannya untuk menghentikan perang. Dan beliau juga memerintahkan pasukannya untuk memperlakukan Aisyah dengan baik dan membawanya kembali ke Madinah.
Imam membebaskan tawanan perang. Imam pun memerintahkan untuk merawat mereka yang terluka. Dan Imam membebaskan mereka semua.
Di Kufah
Setelah beberapa hari tinggal di Basrah, Imam Ali pergi menuju Kufah.
Dalam peperangan, Malik al Asythar bertempur dengan berani layaknya singa. Sehingga musuh-musuh takut padanya. Tetapi pada kesehariannya, ia adalah lelaki miskin. Ia mengenakan pakaian sederhana. Ia berjalan dengan rendah hati. Oleh karena itu, kebanyakan orang tidak mengenalnya.
Suatu hari, Malik al Asythar berjalan di jalanan, dan ada seorang bodoh sedang makan beberapa butir kurma dan melemparkan biji-bijinya.
Malik al Asythar melewati orang bodoh itu. Si bodoh itu lalu melemparkan biji kurma ke arah Malik. Biji kurma itu mengenai punggung Malik. Orang bodoh itu pun menertawainya.
Seorang laki-laki melihat kelakuan orang bodoh itu. Ia lalu berkata padanya," Apa yang kau lakukan? Tahukah kau siapa laki-laki itu?"
Orang bodoh itu menjawab," Tidak, Siapa dia?"
Orang itu berkata," Ia adalah Malik al Asythar!"
Malik melanjutkan perjalanannya. Ia tidak memedulikan orang bodoh itu. Ia ingat bagaimana orang-orang musyrik memperlakukan Nabi Muhammad saw. dengan buruk di Makkah. Mereka melempari Nabi saw. dengan debu dan kotoran, tetapi Nabi saw. tetap diam. Malik pun masuk ke dalam masjid, dan ia mulai memohon kepada Allah SWT.
Laki-laki bodoh tadi segera berlari. Ia masuk kedalam masjid, lalu memeluk Malik seraya meminta maaf dan berkata," Aku meminta maaf atas kelakuan burukku tadi! Terimalah permintaan maafku ini." Malik pun menjawab dengan tersenyum, "saudaraku, jangan khawatir. Demi Allah, aku masuk ke masjid ini untuk memohon kepada Allah agar Ia memaafkanmu.”
Perang Shiffin
Imam Ali memilih orang-orang saleh untuk menjadi gubernur di kota-kota. Beliau menunjuk Malik al Asythar menjadi Gubernur Mosul, Sinjar, Nasibin, Hit, dan Anat. Itu adalah daerah-daerah di perbatasan Syam.
Muawiyah tidak mematuhi Khalifah Ali. Ia pun menjadi diktator di Syam. Bahkan ia ingin melakukan pemberontakan terhadap Imam Ali dengan dalih menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan.
Imam Ali mencoba menempuh jalan damai. Imam mengajak Muawiyah untuk mematuhi beliau. Imam mengirim beberapa surat kepada Muawiyah. Dan mengirim beberapa utusan untuk berbicara kepadanya. Tetapi, semua usaha Imam Ali sia-sia. Muawiyah tetap ingin melakukan pemberontakan.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi Imam Ali kecuali menghadapi pemberontakan Muawiyah tersebut. Imam Ali lalu membentuk pasukan dan menyerahkan komandonya kepada Malik Asythar.
Pasukanpun maju menuju Syam. Ketika tiba di Kirkisya, terjadilah bentrokan dengan pasukan Muawiyah yang dipimpin oleh Abi al Awar al Salmi.
Malik al Asytar mencoba membujuk Abi al Awar al Salmi untuk mengakhiri pemberontakan dan mematuhi Amirul Mukminin. Tetap ia menolaknya.
Malam harinya, pasukan Muawiyah mengambil kesempatan dengan melancarkan sebuah serangan mendadak. Tindakan itu bertentangan dengan agama dan etika perang karena kedua kubu tersebut sedang dalam perundingan.
Pasukan Imam melawan serangan mendadak itu. Mereka membunuh dan melukai banyak penyerang dan memaksa lainnya untuk mundur ke tempat asal mereka.
Malik al Asythar menunjukkan lagi keberaniannya. Ia mengirim utusan untuk menemui Abi al Awar untuk mengundangnya berduel dengan pedang. Utusan itu berkata," Wahai Abi al Awar, Malik al Asythar mengundangmu untuk berduel dengannya!"
Pemimpin pasukan Muawiyah itu menjadi takut dan dengan perasaan kecut berkata," Aku tidak ingin berduel dengannya!"
Muawiyah memimpin sebuah pasukan besar untuk bergabung dengan pasukan Abi al Awar al Salmi. Kedua kubu bertemu di dataran Shiffin di tepi Sungai Eufrat.
Beberapa unit pasukan Muawiyah berhasil menduduki tepi sungai dan mengepung sungai tersebut untuk mencegah pasukan Imam Ali mengambil air.
Tindakan ini juga bertentangan dengan hukum Islam dan hukum perang. Lalu Imam Ali mengutus Sasa'ah bin Suhan, salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw untuk berbicara kepada Muawiyah.
Sasa'ah mendatangi kemah Muawiyah dan berkata," Hai Muawiyah, Ali berpesan,'Biarkan kami mengambil sedikit air. Lalu kami akan memutuskan selanjutnya antara kalian dan kami. Jika tidak, kalian dan kami akan bertempur hingga si pemenang yang akan minum."
Muawiyah terdiam sejenak lalu berkata," Aku akan menjawabnya nanti."
Utusan Imam Ali pergi. Muawiyah meminta saran dari beberapa orang. Al Walid berkata dengan marah," Cegah mereka dari meminum air untuk memaksa mereka menyerah."
Mereka setuju dengan pendapat tersebut. Muawiyah mempekerjakan orang-orang jahat di sekelilingnya . Mereka adalah pelanggar hukum-hukum Islam dan hak asasi manusia.
Malik al Asythar mengamati gerakan pasukan yang ada di tepi sungai. Ia melihat perbekalan pasukan tersebut. Sehingga ia sadar bahwa Muawiyah akan memperketat pengepungan sungai itu.
Tentara Imam menjadi haus. Malik pun demikian. Seorang tentara berkata padanya, " Ada sedikit air dalam tempat minumku, minumlah." Malik menolaknya dan berkata, "Aku tak akan minum sebelum seluruh pasukanku minum!"
Malik pergi menemui Imam Ali dan berkata, "Amirul Mukminin, pasukan kita kehausan. Tidak ada jalan lagi bagi kita selain bertempur." Imam menjawab, Baiklah."
Imam Ali menyampaikan sebuah khutbah dan mendorong mereka untuk bertempur dengan berani. Ia maju ke tepi sungai Eufrat.
Setelah pertempuran sengit terjadi, Malik dapat menguasai kembali tepi sungai dan memaksa pasukan Muawiyah untuk menarik diri.
Pasukan Muawiyah menjadi jauh dari air. Sehingga mereka pun berpikir untuk membuat tipu muslihat demi menguasai kembali sungai Eufrat tersebut.
Pada hari berikutnya, sebuah anak panah jatuh diantara pasukan Imam. Di panah itu terikat sepucuk surat. Para tentara membaca surat itu dengan hati-hati. Mereka dengan cepat menceritakan pesan itu satu sama lain. Pesan itu berbunyi," Dari seorang saudara setia di pasukan Syam (pasukan Muawiyah), Muawiyah akan membuka bendungan sungai itu untuk menenggelamkan kalian. Maka, berhati-hatilah!"
Pasukan Imam percaya pada berita itu dan mundur. Sehingga pasukan Syam mengambil kesempatan dari keadaan itu dan merebut kembali tepi sungai .
Namun pasukan Imam kemudian melancarkan serangan dan mengusir pasukan Syam dari daerah itu.
Muawiyah sangat khawatir, sehingga ia bertanya kepada Amr bin Ash," Apakah menurutmu Ali akan mencegah kita meminum air?" Amr bin Ash menjawab, "Ali tak akan melakukan apa yang kamu lakukan."
Pasukan Syam juga merasa khawatir. Namun, segera mereka mendengar bahwa Imam mengizinkan mereka datang ke sungai dan minum air.
Beberapa orang Syam pun menyadari perbedaan kualitas diri Muawiyah dan Imam Ali. Muawiyah melakukan segala cara untuk memenangkan peperangan. Tetapi Imam Ali tidak berpikir untuk melakukan semua itu. Ia melakukan tindakan yang baik, terpuji, dan berperikemanusiaan.
Oleh karena itu, beberapa tentara Syam meninggalkan kubu Muawiyah dengan diam-diam di malam hari. Mereka bergabung dengan pasukan Imam Ali karena kubu Imam Ali selalu mewakili kebenaran dan kemanusiaan.
Muawiyah
Muawiyah merasa tidak senang kepada Malik al Asythar, karena keberaniannya membuat pasukan Imam Ali berperang dengan penuh semangat, dan pada saat yang sama mencemaskan pasukan Syam.
Sehingga Muawiyah memutuskan untuk membunuh Malik al Asythar melalui duel pedang. Ia memerintahkan Marwan untuk berduel dengan Malik. Tetapi Marwan takut pada Malik. Oleh karena itu, ia meminta maaf kepada Muawiyah dan berkata, "Biarlah Amr bin Ash yang berduel dengannya karena ia adalah tangan kananmu."
Kemudian Muawiyah memerintahkan Amr bin Ash untuk berduel dengan Malik. Amr bin Ash dengan rasa enggan menyetujui rencana Muawiyah tersebut.
Amr lalu memanggil Malik untuk berduel dengannya. Malik maju ke arah Amr bin Ash dengan memegang tombaknya. Malik memukulnya dengan keras tepat pada wajah, sehingga Amr bin Ash pun melarikan diri ketakutan.
Kesyahidan Ammar
Peperangan menjadi bertambah hebat. Ammar memimpin di sayap kiri. Meskipun ia sudah tua, namun ia bertempur dengan gagah berani.
Ketika matahari hampir terbenam, Ammar bin Yasir meminta sedikit makanan untuk berbuka puasa.
Seorang tentara membawakan untuknya secangkir penuh yoghurt (susu asam). Ammar menjadi gembira dan berkata," Malam ini, aku mungkin syahid karena Rasulullah saw telah berkata padaku,'Ammar, sekelompok orang zalim akan membunuhmu, dan makanan terakhirmu di dunia adalah secangkir yoghurt."
Sahabat besar itu pun berbuka puasa dan lalu maju ke medan pertempuran. Ia bertempur dengan gagah berani. Namun akhirnya ia pun jatuh ke tanah dan syahid.
Imam Ali datang dan duduk di dekat kepala Ammar lalu berkata dengan sedih, "Semoga Allah merahmati Ammar di hari ia menjadi syahid. Semoga Allah merahmati Ammar di hari ia dibangkitkan dari kematian. Wahai Ammar nikmatilah surgamu."
Kesyahidan Ammar di pertempuran itu sangat mempengaruhi jalannya pertempuran. Pasukan Imam berada dalam semangat yang tinggi. Sementara itu, pasukan Muawiyah justru berada dalam semangat yang rendah.
Semua kaum Muslim menjadi teringat pada sabda Rasulullah saw. kepada Ammar bin Yasir. Hadis itu berbunyi," Wahai Ammar, kelompok orang-orang zalim akan membunuhmu."
Sehingga semua menjadi demikian jelas bahwa Muawiyah dan tentaranya adalah salah, sementara Imam Ali dan sahabat-sahabatnya adalah benar.
Oleh karena itu, pasukan Imam Ali semakin meningkatkan serangannya atas pasukan Muawiyah. Muawiyah dan pasukannya bersiap untuk melarikan diri.
Tipuan Baru
Muawiyah berpikir untuk memperdayai pasukan Imam. Sehingga ia pun meminta saran kepada Amr bin Ash. Lalu Amr berkata," Aku yakin kita dapat menipu mereka dengan Alquran."
Muawiyah gembira dengan siasat licik itu dan memerintahkan tentaranya untuk mengangkat Alquran dengan tombak-tombak mereka.
Ketika pasukan Imam melihat Alquran , mereka berpikir untuk menghentikan pertempuran. Siasat licik Muawiyah ini berhasil menipu beberapa tentara Imam Ali.
Imam lalu berkata,"Itu adalah tipuan! Akulah yang pertama mengajak mereka pada kitabullah. Dan akulah yang pertama mengimaninya. Meraka tidak mematuhi Allah dan melanggar ketetapan-Nya.
Namun tetap saja 20 ribu tentara Imam tidak mau mematuhi perintah beliau dan berkata," Hentikan pertempuran dan perintahkan Al Asytar untuk mundur!"
Imam akhirnya mengutus seorang tetara kepada Al Asytar untuk menghentikan pertempuran. Malik Al Asytar pun terpaksa mundur. Ia berkata, "Tidak ada kekuatan dan kekuasaan kecuali milik Allah.”
Tahkim
Malik al Asythar mengetahui bahwa tindakan Muawiyah itu hanyalah tipuan. Tetapi ia tetap mematuhi perintah Imam agar tak ada bencana yang terjadi. Ia adalah seorang pemimpin yang pemberani dan prajurit yang patuh.
Pertempuran pun berhenti. Dan kedua kubu menyetujui untuk bertahkim (memutuskan hukum) dengan Kitabullah.
Muawiyah mengirim Amr bin Ash untuk mewakilinya dalam negosiasi itu. Dan Imam memilih seorang yang siaga dan bijaksana. Orang itu juga mesti memiliki pengetahuan yang baik tentang Kitabullah. Sehingga, beliau memilih Abdullah bin Abbas, seorang yang berpengetahuan tinggi tentang agama.
Tetapi kubu pasukan pemberontak yang tidak mematuhi Imam menolaknya dan berkata, "Kami memilih Abu Musa al Asy'ari."
Imam menjawab," Aku tidak setuju dengan pilihan kalian. Abdullah bin Abbas lebih baik darinya."
Sekali lagi para pemberontak itu menolak keputusan Imam. Sehingga, Imam berkata, "Aku akan memilih Al Asytar."
Mereka juga menolak Al Asytar. Mereka tetap kukuh memilih Abu Musa al Asy'ari. Akhirnya, demi menghindari terjadinya malapetaka, Imam lalu berkata, "Lakukan apa yang kalian suka!"
Kemudian kedua wakil itu bertemu untuk berbicara. Amr bin Ash berpikir tentang sebuah rencana yang sekiranya dapat diterima oleh al Asy'ari. Amr berkata padanya," Wahai Abu Musa, Muawiyah dan Ali telah menyebabkan semua kesulitan ini. Sehingga, marilah kita tinggalkan mereka dan memilih orang lain."
Abu Musa al Asy'ari tidak menyukai Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Sehingga, ia pun setuju dengan rencana itu. Ia lalu berkata di depan orang-orang,"Aku melepaskan Ali dari kekhalifahan sebagaimana aku melepaskan cincin dari jariku." Kemudian ia pun melepaskan cincinnya.
Namun Amr bin Ash justru berkata dengan tegas,"Aku menempatkan Muawiyah pada kekhalifahan sebagaimana aku menempatkan cincin kejariku." Kemudian ia memakai cincinnya.
Para tentara Imam, yang telah membangkan tadi , menyesali perbuatan mereka yang salah itu. Tetapi mereka tetap berkeras untuk tidak patuh pada Imam. Malah mereka meminta Imam untuk bertaubat kepada Allah (karena mau berdamai dengan Muawiyah) dan melanjutkan peperangan lagi.
Tetapi Imam menghormati janji dan kesepakatan yang telah dibuat. Beliau menyetujui gencatan senjata dengan Muawiyah dan menghentikan peperangan selama setahun.
Imam meminta prajuritnya itu untuk bersabar selama setahun. Tetapi mereka tetap tidak mau patuh pada Imam. Mereka itulah yang disebut kaum Khawarij.
Racun dan Madu
Imam mengutus Malik al Asytar untuk menggantikan posisi Muhammad bin Abu Bakar sebagai Gubernur Mesir. Imam berkata kepadanya," Malik, semoga Allah merahmatimu, pergilah ke Mesir. Allah sangat percaya padamu. Berserahdirilah kepada Allah! Gunakan kelembutan pada tempatnya dan kekerasan juga pada tempatnya."
Malik al Asytar pun segera berangkat ke Mesir.
Muawiyah merasa khawatir dengan kepergian Malik ke Mesir, karena ia tahu bahwa Malik akan dapat menhalangi rencananya untuk menguasai Mesir. Oleh karena itu, Muawiyah merencanakan sebuah cara untuk membunuhnya.
Muawiyah biasa menggunakan racun yang dicampurkan pada madu untuk membunuh musuh-musuhnya. Muawiyah mendapatkan racun tersebut dari Romawi. Orang-orang Romawi mengizinkan Muawiyah membelinya karena mereka tahu bahwa ia menggunakannya untuk membunuh kaum Muslim.
Amr bin Ash berkata pada Muawiyah, "Aku kenal seorang laki-laki yang tinggal di kota Al Qilzim di perbatasan Mesir. Ia memiliki tanah yang luas di sana. Pasti Malik al Asytar akan melewati kota itu dan berhenti di sana untuk beristirahat.
Muawiyah lalu berkata,"Kirim seorang utusan untuk mengatakan padanya agar membunuh Al Asytar dan kita akan membebaskannya dari pajak seumur hidup."
Utusan Muawiyah dengan segera pergi ke Mesir dengan membawa madu beracun, dan membujuk laki-laki itu untuk meracuni Malik al Asytar.
Kesyahidan
Laki-laki itu setuju dengan rencana Muawiyah. Ia mengambil madu beracun itu, dan menanti kedatangan Malik.
Setelah beberapa hari, Malik tiba di kota Al Qilzim. Laki-laki itu lalu mengundang Malik untuk makan siang di rumahnya. Malik al Asythar menerima undangan itu dengan penuh hormat.
Laki-laki itu segera meletakkan secangkir madu beracun tadi di atas meja. Malik lalu meminum sesendok madu beracun tersebut. Dan seketika ia pun merasakan sakit yang hebat pada perutnya. Ia segera sadar bahwa ada yang merencanakan itu. Lalu ia meletakkan tangannya di atas perut dan berkata," Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Sungguh kita adalah milik Allah dan kita akan kembali kepada-Nya!"
Malik al Asytar menjemput kematiannya dengan keberanian seorang beriman, yang mengetahui bahwa jalannya adalah Islam dan surga.
Mendengar Malik telah syahid, Muawiyah serasa terbang karena gembira. Sehingga ia berkata," Ali bin Abi Thalib mempunyai dua tangan. Aku telah memotong satu diantaranya pada perang Shiffin. Ia adalah Ammar bin Yasir. Dan hari ini, aku telah memotong tangannya yang lain. Ia adalah Malik al Asythar."
Amirul Mukminin merasa sangat sedih. Beliau pun menyatakan perasaan duka citanya," Semoga Allah merahmati Malik. Ia mencintai dan mematuhiku sebagaimana aku mencintai dan mematuhi Rasulullah."
Dengan cara seperti itu Malik Al Asytar mengakhiri kehidupannya yang penuh dengan jihad. Kecemerlangan tingkah lakunya akan menjadi teladan bagi para pemuda Muslim di mana pun.
" Aku telah mengirim seorang di antara hamba Allah terberani. Ia lebih kuat dari api dalam melawan kebusukan. Ia adalah Malik bin Harts al Asytar. Ia adalah seorang yang lembut dalam damai. Ia pun seorang yang tenang dalam peperangan. Ia mempunyai pandangan yang nyata dan kesabaran yang baik." (Imam Ali bin Abi Thalib)
(sumber : Kisah Para Sahabat)
0 comments: