Riwayat Qiraati 1
Posted by
Unknown
at
6:45 AM
Zuhud dan Kikir
Saya pergi memenuhi sebuah undangan. Tuan rumah menjamu kami roti dan keju, seraya berkata, "Dalam acara pernikahan kami sendiri, kami hanya menjamu tamu dengan roti dan yogurt."
Saya berkata, "Ketika seorang anak lahir, Islam memerintahkan agar menyembelih kambing sebagai aqiqah. Karena sekarang sudah besar, memiliki keahlian dan kepandaian dan menikah, tentu akan lebih berkah kehidupannya."
"Selain itu, Zuhud yakni kamu sendiri jangan makan dan bukan berarti jangan memberi kepada orang lain."
Pemimpin Mencangkul
Pada masa pemerintahan raja despotik, seorang pemuda menunjukkan kepada saya sebuah foto presiden salah satu negara komunis yang sedang bekerja dan mencangkul. Pemuda itu mengelu-elukannya dan menjadikan pekerjaan itu sebagai parameter nilai presiden itu.
Saya berkata, "Mengapa engkau begitu tenggelam dalam kelalaian dan menunjukkan dirimu tidak bernilai sama sekali. Engkau sendiri punya seorang pemimpin seperti Ali bin Abi Thalib as yang bertahun-tahun bekerja dan mencangkul lalu mewakafkan hasil jerih payahnya untuk orang-orang fakir dan miskin!"
Celaka Bergerak Tanpa Pembimbing
Dalam sebuah perjalanan saya melihat beberapa pemuda melakukan kajian tentang al-Quran.
Saya bertanya, "Seberapa banyak spesialisasi dan pengetahuan kalian di bidang Ulum al-Quran?"
Mereka menjawab, "Kami tidak banyak tahu tentang bahasa Arab. Namun sebagai mahasiswa kami memiliki pemikiran yang bagus."
Saya berkata, "Saya menghormati kalian. Tapi jangan bergerak tanpa pembimbing. Karena akibatnya kalian akan celaka. Jadi penjual sate saja membutuhkan keahlian, kalau tidak maka maka daging-daging itu akan berjatuhan ke dalam api!"
Kemudian saya bertanya, "Apa maksudnya "Wa Laa Yusrifu Filqatli"?
Mereka menjawab, "Yakni jangan berlebih-lebihan dalam membunuh."
Saya berkata, "Kalau begitu berarti boleh hukumnya membunuh satu atau dua orang?"
Mereka terheran-heran dan bertanya, "Lalu apa maknanya ayat ini?
Saya menjawab, "Karena pada zaman jahiliah, ketika dua kabilah saling berperang, untuk membalas dendam satu orang yang terbunuh, mereka akan membunuh puluhan orang, maka ayat ini mengatakan, dalam melakukan qisas, satu orang bandingannya satu orang tidak lebih."
Perhatian Pada Sumber Kebaikan
Di salah satu kota saya sedang berceramah. Para sesepuh dan ulama yang sudah berusia lanjut juga hadir di sana. Tiba-tiba seorang pemuda bangkit berdiri dan berkata, "Pak Qaraati, Anda cukup bagus dalam menyampaikan ceramah. Namun ulama kota kami demikian dan demikian...."
Saya tercengang dan tidak tahu jawaban apa yang harus saya berikan kepadanya. Saya menyibukkan diri dengan menghapus papan tulis dan memohon kepada Allah untuk bisa menjawabnya. Kemudian saya berbalik menghadap para peserta dan berkata:
"Ucapan anda seperti seseorang yang masuk ke dalam ruangan ini dan melihat sebuah lampu yang sedang menyala dan menyinari. Kemudian dia berkata, "Hidup lampu! Sementara pada saat yang sama ia lupa bahwa lampu ini bisa menerangi karena tersambung pada pabrik pembangkit tenaga listrik. Bila saya menyampaikan sebuah hadis dan anda menikmatinya, itu karena saya belajar pada ulama-ulama sesepuh ini. Bila mereka tidak mengajarkan ilmunya, sekarang saya tidak mungkin bisa berceramah seperti ini."
Perhitungan yang Salah
Ketua salah satu perkumpulan azadari mendatangi saya dan berkata, "Tahun ini kami meminta seorang pembaca kidung duka yang bersuara merdu."
Saya berkata, "Bagaimana dengan kepandaiannya?"
Dia menjawab, "Kepandaian tidak penting. Kami hanya ingin acaranya ramai dan tidak ada urusan dengan kepandaian. Kami hitung, bila kami jamu dengan Abgusht (makanan daging berkuah tradisional Iran) maka yang datang 200 orang. Bila kami jamu nasi, maka yang datang 400 orang. Namun bila yang mengisi bapak yang suaranya merdu, maka yang datang 700 orang." (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Sumber: Khaterat Hujjatul Islam Qaraati, Jilid 1.
Saya pergi memenuhi sebuah undangan. Tuan rumah menjamu kami roti dan keju, seraya berkata, "Dalam acara pernikahan kami sendiri, kami hanya menjamu tamu dengan roti dan yogurt."
Saya berkata, "Ketika seorang anak lahir, Islam memerintahkan agar menyembelih kambing sebagai aqiqah. Karena sekarang sudah besar, memiliki keahlian dan kepandaian dan menikah, tentu akan lebih berkah kehidupannya."
"Selain itu, Zuhud yakni kamu sendiri jangan makan dan bukan berarti jangan memberi kepada orang lain."
Pemimpin Mencangkul
Pada masa pemerintahan raja despotik, seorang pemuda menunjukkan kepada saya sebuah foto presiden salah satu negara komunis yang sedang bekerja dan mencangkul. Pemuda itu mengelu-elukannya dan menjadikan pekerjaan itu sebagai parameter nilai presiden itu.
Saya berkata, "Mengapa engkau begitu tenggelam dalam kelalaian dan menunjukkan dirimu tidak bernilai sama sekali. Engkau sendiri punya seorang pemimpin seperti Ali bin Abi Thalib as yang bertahun-tahun bekerja dan mencangkul lalu mewakafkan hasil jerih payahnya untuk orang-orang fakir dan miskin!"
Celaka Bergerak Tanpa Pembimbing
Dalam sebuah perjalanan saya melihat beberapa pemuda melakukan kajian tentang al-Quran.
Saya bertanya, "Seberapa banyak spesialisasi dan pengetahuan kalian di bidang Ulum al-Quran?"
Mereka menjawab, "Kami tidak banyak tahu tentang bahasa Arab. Namun sebagai mahasiswa kami memiliki pemikiran yang bagus."
Saya berkata, "Saya menghormati kalian. Tapi jangan bergerak tanpa pembimbing. Karena akibatnya kalian akan celaka. Jadi penjual sate saja membutuhkan keahlian, kalau tidak maka maka daging-daging itu akan berjatuhan ke dalam api!"
Kemudian saya bertanya, "Apa maksudnya "Wa Laa Yusrifu Filqatli"?
Mereka menjawab, "Yakni jangan berlebih-lebihan dalam membunuh."
Saya berkata, "Kalau begitu berarti boleh hukumnya membunuh satu atau dua orang?"
Mereka terheran-heran dan bertanya, "Lalu apa maknanya ayat ini?
Saya menjawab, "Karena pada zaman jahiliah, ketika dua kabilah saling berperang, untuk membalas dendam satu orang yang terbunuh, mereka akan membunuh puluhan orang, maka ayat ini mengatakan, dalam melakukan qisas, satu orang bandingannya satu orang tidak lebih."
Perhatian Pada Sumber Kebaikan
Di salah satu kota saya sedang berceramah. Para sesepuh dan ulama yang sudah berusia lanjut juga hadir di sana. Tiba-tiba seorang pemuda bangkit berdiri dan berkata, "Pak Qaraati, Anda cukup bagus dalam menyampaikan ceramah. Namun ulama kota kami demikian dan demikian...."
Saya tercengang dan tidak tahu jawaban apa yang harus saya berikan kepadanya. Saya menyibukkan diri dengan menghapus papan tulis dan memohon kepada Allah untuk bisa menjawabnya. Kemudian saya berbalik menghadap para peserta dan berkata:
"Ucapan anda seperti seseorang yang masuk ke dalam ruangan ini dan melihat sebuah lampu yang sedang menyala dan menyinari. Kemudian dia berkata, "Hidup lampu! Sementara pada saat yang sama ia lupa bahwa lampu ini bisa menerangi karena tersambung pada pabrik pembangkit tenaga listrik. Bila saya menyampaikan sebuah hadis dan anda menikmatinya, itu karena saya belajar pada ulama-ulama sesepuh ini. Bila mereka tidak mengajarkan ilmunya, sekarang saya tidak mungkin bisa berceramah seperti ini."
Perhitungan yang Salah
Ketua salah satu perkumpulan azadari mendatangi saya dan berkata, "Tahun ini kami meminta seorang pembaca kidung duka yang bersuara merdu."
Saya berkata, "Bagaimana dengan kepandaiannya?"
Dia menjawab, "Kepandaian tidak penting. Kami hanya ingin acaranya ramai dan tidak ada urusan dengan kepandaian. Kami hitung, bila kami jamu dengan Abgusht (makanan daging berkuah tradisional Iran) maka yang datang 200 orang. Bila kami jamu nasi, maka yang datang 400 orang. Namun bila yang mengisi bapak yang suaranya merdu, maka yang datang 700 orang." (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Sumber: Khaterat Hujjatul Islam Qaraati, Jilid 1.
0 comments: